Senin, 11 Mei 2020

MATEMBING: KETEPATAN MENCIPTAKAN PELUANG & MEMBIDIK SASARAN

Di era 1990’an - sampai medio 2000’an, era gadget belum se-booming saat ini, bahkan barang tersebut masih merupakan sebuah barang yang sangat mewah. Pergaulan anak-anak di desa masih berkutat dengan permainan-permainan tradisional sebagai ajang sosialisasi dan interaksi, baik di lingkungan sekolah atau pun dirumah. Memanfaatkan waktu istirahat sekolah, anak-anak SD memainkan permainan tradisional seperti maengkeb-engkeban, magala-galaan, magoak-goakan, macapatan, matembing dan lain-lain. Sepulang sekolah, aktifitas tersebut akan dilakukan kembali bersama teman-teman sepermainan di lingkungan sekitar. Dengan lingkungan dan situasi yang sama permainan tradisional tidak pernah membosankan, karena berbagai jenis yang dimainkan dengan pola yang berbeda-beda. Kita kadang tidak memperhatikan bagaimana permainan tradisional itu diwariskan, dengan pola pergaulan  sebaya seketika saja permainan tradisional tersebut diperkenalkan. Secara tidak sadar pula, permainan tradisional merupakan sebuah pembelajaran, karena di dalamnya terdapat aturan-aturan yang khas dan harus diikuti disetiap permainan. 
Kurniati (dalam Haerani, 2013) menyebutkan bahwa permainan anak tradisional dapat mestimulasi anak dalam mengembangkan kerjasama, membantu anak menyesuaikan diri, saling berinteraksi secara positif, dapat mengkondisikan anak dalam mengontrol diri, mengembangkan sikap empati terhadap teman, menaati aturan, serta menghargai orang lain. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa permainan tradisional dapat memberikan dampak yang sangat baik dalam membantu mengembangkan keterampilan emosi dan sosial anak. Bagi anak, bermain merupakan tempat pelarian yang nyaman dan tempat mereka mengontrol dunia mereka, pikiran, perasaan anak dapat dipahami dengan baik dan tercipta konteks yang aman untuk perkembangan emosi mereka. Secara tidak langsung permainan tradisional merupakan salah satu rekreasi atau hiburan bagi yang memainkannya. Dan segi emosional, dengan bermain dapat menumbuhkan rasa senang serta bebas. Pada akhirnya kegembiraan anak - anak dalam bermain akan mempengaruhi pula bagi tumbuh kembangnya kepribadian serta mental anak.
Salah satu permainan tradisional Bali yang menarik adalah permainan matembingMatembing berasal dari kata tembing, yang berarti “bibir/pinggir”, mendapat awal ma- yang berarti melakukan sesuatu perbuatan, sehingga matembing berarti sebuah permainan dengan uang kepeng yang dilemparkan pada salah satu sasaran. Permainan matembing merupakan permainan tradisional Bali yang dilakukan oleh 2-5 orang. adapun peralatan yang diperlukan antara lain, koin (uang kepeng, uang logam dan sejenisnya) dan bengol. Permainan dilakukan dengan cara membuat lubang dangkal di tanah dengan kedalaman 1cm dan diameter 1,5 – 2 cm yang dibuat dengan memutarkan uang logam di tanah. Masing-masing pemain akan mengeluarkan koin, kemudian koin-koin tersebut dilemparkan ke dalam lubang oleh pemain yang mendapat giliran yang ditentukan dengan kesepatakan. Apabila ada koin yang masuk kedalam lubang, koin tersebut boleh diambil oleh pemain yang bersangkutan. Selanjutnya pemain lain akan memberitahu kepada pemain pertama untuk membidik sasaran salah satu koin yang tercecer. Apabila bidikannya tepat, maka semua koin berhak diambil oleh pemain pertama dan demikian seterusnya. Tetapi apabila bidikannya justru mengenai sasaran lain, maka pemain yang membidik tersebut akan mengeluarkan koin lagi sebagai denda. Jarak antara lubang dengan posisi pemain yang melempar koin kurang lebih 3 meter yang dibatasi dengan garis.
Jika dicermati, permainan matembing ini merupakan sebuah permainan tradisional yang mempunyai implikasi sangat bagus dalam membentuk karakter kemandirian anak, di mana anak akan dilatih untuk menciptakan peluang dan memanfaatkan peluang yang ada untuk memperoleh hasil. Koin melambangkan hasil, karena koin tersebut merupakan hal yang akan diperebutkan dalam permainan tersebut. Kekalahan dan kemenangan dalam permainan matembing terlihat dari berapa banyak koin yang bisa dikumpulkan. Bengol merupakan alat pembidik, bengol melambangkan skil dan ketangkasan yang digunakan untuk membidik setiap peluang sehingga mendapatkan hasil. Lubang melambangkan ruang dan kesempatan untuk meraih peluang, lubang yang sedemikian kecil akan mampu menghasilkan sesuatu yang besar jika dimanfaatkan dengan baik sesuai dengan kesempatan yang ada.
Dengan filosofi tersebut, kegiatan matembing dapat dijadikan sebagai sarana untuk membentuk karakter generasi muda Bali yang tangguh dalam memanfaatkan setiap peluang dan tantangan yang ada untuk menjadi peluang emas, sehingga akan memumbuhkan mental yang  kuat dalam menghadapi segala tantangan hidup. Seperti model permainan tradisional kebanyakan, aturan-aturan yang ada dalam matembing, dapat menjadi pedoman untuk menciptakan mental siap menang dan siap kalah dalam sebuah kompetisi yang dilandasi dengan kedisiplinan dan kejujuran dalam setiap lajurnya. Implikasi yang lebih nyata dari permainan matembing ini, dapat kita lihat dalam dunia usaha. Koin yang dikeluarkan oleh setiap pemain adalah modal dalam sebuah usaha, dengan alat, ketangkasan dan skil yang mumpuni kita dituntut untuk bersaing secara sehat untuk membidik setiap peluang yang ada, sehingga akan menghasilkan untuk kelangsungan hidup. Kesalahan dalam memanfaatkan peluang dan membidik sasaran menyebabkan kita akan merugi, sehingga akan mengeluarkan modal tambahan sebagai konsekuensinya.
Pola permainan matembing lebih mengedepankan pola permainan individual, pola persaingan dan bagaimana untuk memperberat jalan lawan. Dalam implikasi positif, pola tersebut memberikan gambaran bahwa sebagai individu, manusia harus mampu berjuang sendiri dalam setiap tantangan yang dihadapi. Itulah pentingnya kita untuk selalu mengasah kemampuan dalam bidang yang kita geluti, sehingga mampu menjadi professional. Sedangkan Implikasi negatifnya adalah kurangnya nilai kerjasama dalam permainan ini, ibaratnya sebuah kompetisi, semua harus dikerjakan sendiri, lawan tetaplah lawan dan merupakan orang yang harus dikalahkan. Selain itu jika diexplorasi secara berlebihan, implikasi negatif lainnya dari permainan ini adalah dapat dijadikan sebagai ajang berjudi, karena koin yang digunakan adalah koin uang yang menjadi taruhan.
Terlepas dari semua itu, matembing tetaplah sebuah permainan yang sangat menyenangkan, menantang, dan sangat seru dengan berbagai nilai-nilai positif yang bisa dihasilkan dari permainan tersebut. Semoga permainan ini dapat dilestarikan atau mungkin dapat dikemas untuk menjadi sebuah permainan rekreasi yang bisa dikompetisikan secara resmi. 

Daftar Bacaan
Nur, Haerani. 2013. Membangun Karakter Anak Melalui Permainan Anak Tradisional. Jurnal 
Pendidikan Karakter 1
Tim Penyusun. 2017. Kamus Bali - Indonesia Beraksara Latin dan Bali. Denpasar: Dinas 
Kebudayaan Provinsi Bali

        Link Permainan Matembing:
https://www.youtube.com/watch?v=vR-yJ_wSoyA&t=7s

Minggu, 19 Januari 2014

Mara di Kaden

Kitak kituk..
Nyaruang seduk..
Jengkang jengking..
Nyaruang paling..
Kaak kuuk..
Pang maan susuk..
Jungklang jungkling..
Pang kadena penting..
Mara di kaden..
Maan ulian saru..
Puarane masih beru..
Bureng..
Gremeng..
Kewala pang kadene siteng..
Mara di kaden..

Kamis, 02 Mei 2013

Satua Bali : I Pucung

Kacrita ada koné tuturan satua, di Banjar Kawan, wewengkon Koripan ada anak pacul ngelah pianak muani adiri madan I Pucung. I Pucung koné gegaenné tuwah mapikat di cariké, nanging ké nyalah unduk pajalanné mapikat krana ia mikatin kedis masan padi tondén serab. Dadi tusing pesan koné ia taén maan kedis, wiréh tusing ada kedis ngalih amah krana padiné mara ngandeg beling, tondén pesu buah. Déning kéto, med-medan koné ia mapikat. Wadih mapikat ngalih kedis, jani I Pucung koné demen tekéning kuluk. Sakéwala, tingkahné masih soléh maidih-idihan, krana sabilang ia nagih ngidih konyong sik pisaganné begbeg ané idiha konyong ané mara lekad. Wiréh konyong ané nagih idiha enu cerik buina tondén kedat, kadéna konyongné enu buta, dadi buung dogén koné ia ngidih konyong. Mara kéto paundukan ané tepukina baan I Pucung pesu pedih kenehné, déning makejang ané kenehanga tusing taén misi.
Sasukat ento, kacrita I Pucung tusing pesan koné ia taén kija-kija buin, begbeg nyingkrung dogén jumahné. Ping kuda-kuda kadén suba bapanné nglémékin, apanga ia nulungin ka carik, nanging ia masih tusing nyak. Wiréh kéto solah pianakné, bapanné pedih koné kenehné tekén I Pucung, nanging ia tusing bani nglémékin wiadin nigtig I Pucung krana ia suba kelih. Bapanné memegeng cara togog nolih I Pucung nyingkrung di plangkané geris-geris sirep leplep.
Makelo-kelo, dadi demen koné I Pucung tekén anak luh. Sakéwala dedemenanné likad pesan, gedé kenehné ia, sawiréh ané dotanga sing ja ada lén putrin Ida Sang Prabhu Koripan. Ditu kéweh ia makeneh, ngenehang isin dedemenanné, budi morahan tekén bapanné tusing koné ia juari, déning suba ngasén kapining déwék gedeganga. Ngangsan ngibukang kenehné I Pucung wiréh dot énggal makurenan ngajak Ida Radén Galuh, nanging tusing ada jalan, mabudi ngalih ka puri ia tusing bani. Jani ngaé koné ia daya, apanga misi kenehné nyidayang makatang Radén Galuh.
Sedek dina anu, I Pucung kacritaang ka puri tangkil ring Ida Sang Prabhu. Mara teked di bancingah, tepukina ada koné parekan nglaut ia matakon, “Ih jero parekan, nawegang titiang nunas tulung ring jeroné, wekasang jebos titiang ka purian, aturang titiang jagi tangkil ring Ida Sang Prabhu!”
Masaut parekané, “Inggih, mangda becik antuk tiang ngaturang ring Ida Sang Prabhu, jeroné sapasira?”
“Aturang titiang I Pucung saking Banjar Kawan!”
Ditu lantas parekanné ngapurian matur ring Ida Sang Prabhu, “Nawegang titiang matur ring Palungguh I Ratu, puniki wénten kaulan Palungguh Cokor I Déwa mawasta I Pucung saking Banjar Kawan, ipun jagi tangkil ring Palungguh Cokor I Déwa.” Ngandika Ida Sang Prabhu, “Apa koné ada aturanga I Pucung tekén nira?”
“Matur sisip titiang Ratu Déwa Agung, parindikan punika tan wénten titiang uning.”
“Nah, lamun kéto, tundén suba ia mai!” Ngajabaang lantas parekané ngorahin I Pucung tundéna ngapuriang. Mara kéto, éncol koné pajalané I Pucung ngapurian. Sasubanné neked di ajeng Ida Sang Prabhu, lantas ia mamitan lugra.
“Ih to Cai Pucung, apa ada buatang Cai mai?”
Matur I Pucung, “Inggih matur sisip titiang Ratu Déwa Agung, wénten tunasang titiang ring Cokor I Déwa.”
“Nah, unduk apa ento Pucung? Lautang aturang kapining gelah!”
“Inggih sapunapi awinan ipun i pantun sané wau embud dados ipun puyung, kalih asuné sané wau lekad dados ipun buta?”
Ngandika Ida Sang Prabhu, “Yan unduk ento takonang Cai, nira tusing pesan nawang awinannyané buka kéto, men yan cara Cai, kénkén mawinan dadi buka kéto?”
“Parindikan punika tan kamanah taler antuk titiang. Nanging, yan banggayang Cokor I Déwa asapunika kéwanten, kamanah antuk titiang, gelis jaga rusak jagat druéné.”
“Men jani kénkén baan madaya, apanga guminé tusing uug?”
“Inggih yan kamanah antuk titiang tambet, becik mangkin karyanang banten paneduh aturang ring Ida Betara Dalem. Manawi wénten kasisipan Palungguh Cokor I Déwa, mangda sampunang Ida Betara banget menggah pamiduka!”
“Nah lamun kéto ja keneh Cainé, kema tegarang neduh ka pura Dalem! Sing ada sagét pawuwus saking Ida Betara Dalem kapining nira, nira lakar ngiring dogénan. Nah, antiang dini malu akejep, nira nu nundén panyeroané ngaé banten. Apang nyidaang maturan dinané jani, sedeng melaha jani dina tumpek. Yan suba pragat bantené, Cai men ngaturang ajak I Mangku Dalem ka pura!”
“Inggih, titiang masedéwék!” Kéto aturné I Pucung.
Gelisin satua, Sasubanné pragat bantené, majalan lantas I Pucung nyuun banten, ngojog kumah jero mangku.
“Jero Mangku, Jero Mangku, tiang nikaanga mriki mangda ngaturin Jero Mangku olih Ida Sang Prabhu, niki wénten upakara mangda ragan Jero Mangku ngaturang ring pura Dalem mapinunas mangda jagaté i riki rahajeng. Samalihipun banten puniki jeroné kandikaang makta ka pura. Tiang mapamit dumun abosbos jaga kayeh,” akéto baana melog-melog Jero Mangku baan I Pucung.
Sasubanné matur ulian ngéka daya tekén Jero Mangku, ditu lantas I Pucung énggal-énggal mapamit uli jeron dané Jero Mangku Dalem. Gelisin satua, apang tusing katara, silib koné pajalanné I Pucung ngojog pura Dalem tur nglaut ia macelep ka palinggih gedong kamulan ané tanggu kelod. Sawatara ada koné apanginangan ia mengkeb ditu, rauh lantas Jero Mangku makta banten ngojog palinggih sik tongos I Pucungé mengkeb. Suba kéto lantas koné Jero Mangku ngaturang banten saha mapinunas tekén Ida Betara mangdané guminé di Koripan manggih karahayuan!
Sasubanné Jero Mangku suud ngantebang, ngomong lantas I Pucung uli jumahan gedongé, mapi-mapi dadi Betara, kéné koné munyinné, “Ih, Cening Mangku pérmas Irané, nyén nundén sapuh Ira mai maturan nunas kaluputan tekén Nira?”
Masaur Jero Mangku, “Inggih titiang kandikayang antuk damuh Palungguh Betara, Ida Sang Prabhu nunas kaluputan ring Palungguh Betara, déning pantuné wau lekad puyung kalih asuné wau lekad ipun buta.”
Buin ngomong I Pucung, “Ih, Cening Mangku, Nira ngiangin lakar ngicén kaluputan nanging yan Sang Prabhu ngaturang okanné Radén Galuh kapining Ira!” Jero Mangku ngadén munyin I Pucung pangandikan Ida Betara, lantas dané budal. Teked di jabaan purané Jero Mangku mrérén di batan punyan binginé sambilang dané ngantiang I Pucung.
Buin akejepné pesu lantas I Pucung uli gedongan palinggih kamulan nglaut ia maekin Jero Mangku sedek ngetis tur matakon, ”Sapunapi Jero Mangku, wénten minab wacanan Ida Betara?” Jero Mangku Dalem lantas nuturang buat pamargin danéné mapinunas kadagingan patuh cara munyin I Pucung mapi-mapi dadi Betara nguluk-nguluk ragan dané Jero Mangku cara itunian. Buina suud nutur kéto, Jero Mangku lantas nganikain I Pucung, “Nah, Pucung melah suba Cai ka puri ngaturang tekén Ida Sang Prabhu pangandikan Ida Betara. Bapa tusing ja bareng kema, wiréh jumah ada tamiu ngantiang!” Déning kéto pangandikan Jero Mangku, dadi kendel pesan I Pucung, déning guguna pamunyin déwékné tekén Jero Mangku, saha lantas ia majalan ngapurian.
Sasubanné I Pucung nganteg di purian, ngandika lantas Ida Sang Prabhu, “Men, kénkén Pucung buat pajalan Cainé mapinunas, ada pawecanan Ida Betara tekéning Cai? Tegarang tuturang apang gelah nawang!”
Matur I Pucung, “Inggih wénten Ratu Déwa Agung. Asapuniki wecanan Ida Betara ring titiang. “Ih, Cening Pucung, kema aturang wecanan Irané tekén gustin Ceningé, buat pinunas sasuhunan Ceningé, Nira lédang lakara ngicénin ida kaluputan mangdané guminé karahayuan, nanging yan ida kayun ngaturang okanné, Ida Radén Galuh tekén Nira!” Asapunika pangandikan Ida Betara ring sikian titiang. Inggih, sané mangkin asapunapi pakayunan Palungguh Cokor I Déwa, déning asapunika pakayunan Ida Betara?”
“Nah yan kéto pakayunan Ida Betara, anaké buka gelah sing ja bani tulak tekén pakayunan Idané. Yan suba guminé nemu karahayuan, gelah dong ngaturang dogén. Ento mara abesik putran gelahé karsaang Ida Sasuhunan, kadi rasa makadadua, gelah pastika lakar ngaturang.” Ditu buin koné ngendelang dogén kenehné I Pucung déning suba tingas pesan sinah lakar kaisinan idepné nganggon Radén Galuh kurenan.
Matur buin I Pucung, “Inggih yan asapunika pikayunan Palungguh Cokor I Déwa, margi rahinané mangkin ratu, aturang putrin Cokor I Déwa, Ida i nanak Radén Galuh ring Ida Betara mangda gelis kasidan pinunas Cokor I Déwa, rahajeng jagat Koripané! Titiang ja ngiringang Ida, jaga aturang titiang ring Ida Betara Dalem.” Mara kéto aturné I Pucung, ditu lantas Ida Sang Prabhu ngandikain parekanné apanga ngaturin okané lanang Ida Radén Mantri, kandikaang ngapurian. Ida Radén Mantri sedek koné di jabaan. Majalan lantas i parekan ka jabaan ngaturin Ida Radén Mantri. Ida Radén Mantri raris ngapurian tangkil ring ajinné.
Ngandika Ida Sang Prabhu, “Cening Bagus Radén Mantri I Déwa, nah né jani Bapa ngorahin Cening, buat arin Ceningé Radén Galuh karsaanga tekén Ida Betara Dalem. Bapa lakar ngaturang i anak Galuh tekén Ida Betara, déning Bapa tuara bani tekéning anak tuara ngenah, buina apanga guminé karahayuan. Wiréh mula kéto swadarmaning dadi agung, tusing dadi mucingin apa buin pangandikan Ida Betara ané tusing kanten. Yan Bapa tusing ngaturang adin I Déwané, pedas rusak jagaté. Men, cening kénkén kayuné?”
Matur Ida Radén Mantri, “Inggih yan sampun asapunika pakayunan Guru Aji, titiang tan panjang atur malih. Lédang té pakayunan Guru Aji kémanten.”
Déning kéto aturné Radén Mantri, lantas I Patih kandikaang nuunang peti lakar genah I Radén Galuh. Sasubanné Ida Radén Galuh magenah di petiné, lantas petiné kancinga tur seregné tegulanga di duur petiné.
Ngandika Ida Sang Prabhu, “Ih Cai Pucung, nah né suba pragat i nanak Galuh mawadah peti, kema suba tegen petiné aba ka pura Dalem aturang i nanak Galuh ring Ida Betara. Né seregé di duur petiné mategul. Da pesan Cai nyemak seregé ené, depin dogén dini, satondén Cainé nganteg di pura. Buina ingetang pabesen gelahé, yén Cai makita manjus di jalan, pejang petiné di duur pundukanné tur seregné depang masih ditu mategul!”
Sasubanné I Pucung polih pangandikan Ida Sang Prabhu tur ia ngresep tekén pawecananidané ditu ia matur, “Inggih, titiang sairing,” kéto aturné lantas ia majalan negen petiné misi Ida Radén Galuh. Mimih, magrétgotan koné ia negen petiné ento, nanging baan kendelné lakar maan kurenan okan Ida Sang Prabhu, dadi tusing koné aséna baat. Kacrita di jalan, I Pucung nepukin tukad ané yéhné ening, dadi prajani pesu koné kenyelné I Pucung. Kadaut baan ening yéh tukadé tur bedakné tan kadi-kadi, ditu ia marérén nglaut manjus ka tukadé. Petiné pejanga baan I Pucung di duur pundukané katut seregné kadi pangandikan Ida Sang Prabhu. Di makiréné ia tuun lakar kayeh, matur I Pucung tekén Radén Galuh, “Ratu Radén Galuh, Cokor I Déwa driki dumun, kénakang kayuné driki. Titiang ngaonin Cokor I Déwa ajebos, titiang jaga tuunan manjus, déning ongkeb pisan tan dugi antuk titiang naanang kebusé, asapunika taler bedak tiangé tan kadi-kadi.” Déning Ida Radén Galuh mawadah peti dadi tusing koné pirenga atur I Pucungé.
Suud I Pucung matur kéto, tuunan lantas ia ka tukadé kayeh. I Pucung klangen tekén tis yéh tukadé kanti tusing inget tekén Radén Galuh, ia makelo manjus sambilanga mlamlaman. Ditu rauh lantas Ida Radén Mantri sameton Ida Radén Galuh nandan macan pacang anggén ida ngentosin sametoné. Sasubanné Ida Radén Mantri rauh sik tongos petiné ento, ngelisang raris Ida Radén Mantri nyereg petiné tur kamedalang ariné. Sasubanné Ida Radén Galuh medal, jani macané koné celepang ida tur kakancing, seregné buin koné genahang ida duur petiné. Suud kéto, gelis-gelis koné Ida Radén Mantri malaib sareng Ida Radén Galuh budal ka Koripan. Buat isin petiné kasilurin, tusing koné tawanga tekén I Pucung.
Sasubanné I Pucung suud manjus, lantas ia menekan. Teked ba duuran dingeha koné munyi krasak-krosok baan I Pucung di tengah petiné. Ngomong lantas I Pucung, “Inggih Ratu Radén Galuh, menggah manawi Cokor I Déwa dados krasak-krosok wau kaonin titiang manjus. Margi mangkin Cokor I Déwa budal kumah titiangé, drika mangkin Cokor I Déwa malinggih sareng titiang. Cokor I Déwa pacang anggén titiang kurenan. Samalihipun, titiang sampun nyiagayang Cokor I Déwa woh-wohan luir ipun: buluan, salak, croring, miwah manggis. Punika pacang rayunan Palungguh Cokor I Déwa sampun wénten jumah titiang katragianang antuk panyeroan Palungguh Cokor I Déwa, titiang maderbé mémé. Sampunang té kénten menggah Cokor I Déwa, mangkin iringa ja Cokor I Déwa budal.”
Gelisin satua, majalan lantas ia I Pucung ngamulihang negen petiné. Sasubanné neked jumahné, kauk-kauk lantas I Pucung ngaukin méménné, “Mémé, mémé, ampakin tiang jlanan, tiang ngiring Ida Radén Galuh mulih. Tiang anak suba icéna nunas Ida Radén Galuh tekén Ida Sang Prabhu. Makedas-kedas men Mémé di jumahan metén icangé apang kedas, krana tiang lakar nglinggihang Ida ditu, uli semengan Ida tondén ngrayunang.” Méménné tusing ja ia nawang keneh panakné, slegagan koné ia mara ningeh pamunyin panakné buka kéto. Dadi ampakina dogén koné I Pucung jelanan tur I Pucung ngénggalang macelep kumah metén saha éncol ngancing jelanan uli jumahan. Petiné, pejanga koné baan I Pucung di pasaréané.
Critayang jani suba tengah lemeng mémé bapanné I Pucung suba koné pada leplep sirepné, ditu lantas I Pucung buin ngomong ngrumrum isin petiné, “Inggih Ratu Radén Galuh, matangi Cokor I Déwa, niki sampun wengi, mriki mangkin Palungguh Cokor I Déwa merem sareng titiang!” Suud ia ngomong kéto, lantas petiné ento serega tur ungkabanga. Mara petiné ento ungkabanga, méméh déwa ratu tangkejutné I Pucung, wiréh petiné misi macan. Tondén maan mapéngkas, sagét macané ané ada di tengah petiné makecos nyagrep saha nyarap I Pucung. Ditu I Pucung lantas mati sarap macan.
Buin mani semenganné, dunduna lantas ia tekén méménné uli diwangan, déning suba tengai I Pucung tondén bangun uli pasaréan. Méménné narka tur ngadén panakné sajaan ngajak Radén Galuh. Kanti ping telu koné méménné makaukan, masih tusing koné ada pasautné I Pucung uli tengahan meténé. Wiréh kéto, méménné koné lantas ninjak jelananné. Mara mampakan don jelananné, magruéng koné macané jumahan. Ditu makesiab méménné I Pucung saha prajani lantas buin ngubetang jelanan meténé. Sasubanné macané kakancing ditu lantas ia gelur-gelur ngidih tulungan tekén pisagané. Liu pada anaké nyagjagin mémén I Pucung saha sregep pada ngaba gegawan. Macané laut kaiterin di jumahan metené tekén kramané, ada ané numbak uli di sisi, ada ané nimpug aji batu, kéto masi ada ané nulup. Gruéng-gruéng macané kena tumbak, lantig saang kandikan saha glebugin batu bulitan ané gedé-gedé. Wiréh kakembulin, mati lantas koné macané totonan. Sasubanné i macan mati, mulihan lantas méménné I Pucung ka tengah meténné, dapetanga panakné suba mati tur nu tulang-tulangné dogén.

Satua Bali : I Lubdaka

Kacritayang daweg dumun, wenten juru boros, maparab I Lubdaka. Liat salap baos banggras dengkak-dengkik. Solah ngapak-apak, nyapa kadi aku. Akedik nenten madruwe manah welas asih, morosin kidang, bojog wiyadin irengan.
Nuju panglong ping pat belas Tileming Kapitu, semengan ipun sampun ka alase. Nanging asiki nenten manggihin buron. Sampunang ja buron ageng, kadi rasa lelasan ja nenten wenten medal nenten wenten kepanggih.
I Lubdaka raris ngungsi alas sane sripit. Irika kacingak wenten telaga, toyanne ening pisan, tur magading tunjung manca warna. Irika I Lubdaka maka sanja, taler nenten wenten buron sane rawuh.
Ring sampune engseb suryane, raris I Lubdaka ngrenggeng : "Yeh... enen suba sanja, yen jani I dewek mulih, kapetengan di jalan, sinah aluh I macan ngebog I dewek. Ah... paling melah dini dogen I dewek nginep ".
Sapupute I Lubdaka ngrenggeng, raris ngrereh genah nginep. I Lubdaka mongkod taru bila ageng, sane mentik ring sisin telagane. Ring carang taru bila punika ipun ngesil.
Sampun nyaluk wengi I Lubdhaka arip. Metu ajerih manah ipun, yan nyriet akedik janten runtuh nengkayak. Raris ipun ngeka naya mangda nenten arip. Daun bilane kapikpik, tur kasintungang ring telagane. Kala punika jeg marawat-rawat, I kidang sanekatumbak olih ipun ibi. I kidang maplisahan ngelur ring tanahe, naanang sakit. Taler sawat-sawat dingeh ipun, pacruet eling panak I bojog, mangelingin memene kena tumbak.
Ngancan suwe, ngancan akeh parisolah ipune marawat, kala maboros ring alase, wantah ngardi sangsaran ye I buron. I Lubdaka raris ngrenggeng : "Liu pesan I dewek lakar ngae jelek di gumine, uli jani I dewek lakar suwud maboros". Asapunika semayan ipun wengine punika.
Antuk akeh daun bilane kapikpik, tur kasintungang ring telagane, raris mabejug daun bilane marupa lingga. Lingga maka linggih Ida Sang Hyang Siwa. Tur nenten kerasa, saget sampun semengan jagate. I Lubdaka gegesonan tedun, tur budal nenten makta punapa-punapi.
Rawuh ring pondok rabine nyanggra : "Inggih... Beli... Napi mawinan wawu rawuh. Napi ke beli mangguhang baya ring alase?". I Lubdaka raris gelis nyawis: "Adi sayang... beli tusing mulih ibi, sawireh beli kanti ka sanja, abesik tusing maan buron. Jengah keneh beline, lantas ngungsi alas sripit, ditu masih tusing ada buron.
Tur tusing marasa saget suba sanja. Yen beli mulih jejeh kapetengan di jalan, tur elah I macan ngebog dewek beli. Ento kerana beli nginep di tengah alase, duwur punyan bilane beli ngesil, magadang nganti ka lemah. Sambil magadang beli ngenehang dewek, sujatine jele pesan solah beli ane suba. Beli langgane mancut pramanan I buron. Ia i buron sujatine patuh cara I raga, ia masih mabudi idup. Ento kerana ane jani, beli lakar suwud maboros. Beli suwud ngambekang solah mamati-mati, ane madan Himsa Karma".
Ngawit punika I Lubdaka wusan maboros, tur geginan ipun sane mangkin, wantah matetanduran ring tegale. Pikolih matetanduran, anggen ipun ngupapira pianak somah.
Kacrita ring sampun I Lubdhaka lingsir, tur tiben sungkan raat pisan raris seda. Raris pianaknyane ngupakara layon I Lubdaka, Ngaben lantur Nyekah manut dresta.
Sampun puput pulah palih ngupakara, atman I Lubdaka raris malesat ka niskala,
tur sampun rawuh ring teleng marga sanga. Ring teleng marga sanga, atman I Lubdaka bengong, santukan ten uning ring genah jagi katuju. Daweg punika raris rawuh cikrabala akeh pisan, sahasa ngoros atman I Lubdaka, raris katur ring Ida Sang Hyang Suratma, ida pinaka dewa nyurat solah atmane.
Ida Sang Hyang Suratma raris mataken: "Eh... cai atma... nyen adan caine? Apa gaen caine di mercepada? Lautang jani cai matur teken manira".
Atman I Lubdaka raris matur sada ngejer: "Inggih... Ratu... titiang mawasta I Lubdaka. Karyan titiang ring jagate wantah maboros".
Wawu asapunika atur I Lubdaka, raris Ida Sang Hyang Suratma mawecana: "Eh... Lubdhaka... yen keto solah cai, ento madan Himsa Karma. Jele pesan solah cai. Ane jani sandang dosan caine, malebok dikawahe satus tiban".
Puput Ida Sang Hyang Suratma mangucap, raris cikrabala sami ngoros atman I Lubdaka kabakta ka kawah Candra Goh Muka. Rawuh ring teleng margi, tan pasangkan rawuh Surapsara akeh pisan melanin atman I Lubdaka.
Para cikrabala raris mataken, "Eh... Surapsara, ngudiang I dewa melanin atman I Lubdaka ane setata masolah corah di gumine?".
Surapsara sami mangucap, "Eh... cikrabala, apang i dewa tatas, tiang kandikayang olih Ida Hyang Siwa, mendak atman I Lubdhaka".
Yadiastun Ida Sang Hyang Siwa, sane ngarsayang atman I Lubdaka, cikrabala sami nenten kayun nyerah, santukan para cikrabala, pageh ngamel swadharma, mayang-mayang atma sane corah. Punika mawinan atman I Lubdaka, kukuh kagamel. Raris metu yuda
rames. Kasuwen-suwen kasor cikrabala sami. Atman I Lubdaka kagayot olih Surapsara, kagenahang ring joli emas.
Nenten suwe pamargin Surapsara sami, sampun rawuh ring Siwa Loka, raris atman I Lubdaka, katur ring Ida Sang Hyang Siwa.
Ida Sang Hyang Yama mireng indik asapunika, raris gelis tangkil ring Ida Sang Hyang Siwa. Sampun rawuh ring ajeng Ida Sang Hyang Siwa, raris Ida Sang Hyang Yama matur, "Inggih... Ratu Sang Hyang Siwa, I ratu sane ngardi awig-awig jagat, yan masolah becik polih linggih sane becik, yan masolah kawon polih linggih sane kawon. Raris I Lubdaka, sekala solah ipune kawon pisan, ngambekang solah mamati-mati. Dados ipun sane icen I Ratu linggih becik?. Yan puniki margiang I Ratu, janten katulad olih panjake sami, tur janten rug jagate".
Asapunika atur Ida Sang Hyang Yama, ten cumpu ring pamargin Ida Sang Hyang Siwa, ngicen I Lubdaka linggih becik.
Wawu asapunika atur Ida Sang Hyang Yama, raris Ida Sang Hyang Siwa nyawis, "Uduh... Dewa Sang Hyang Yama, eda Dewa salit arsa ( iwang penampen ). Saja I Lubdaka masolah Himsa Karma, nanging nuju Panglong pat belas Tilem Kapitu, ia suba ngelar brata, anggona nglebur dosane makejang".
Mireng bawos Ida Sang Hyang Siwa asapunika, ngancan nenten tatas Ida Sang Hyang Yama, raris Ida mangucap malih, "Inggih... Ratu Bethara, titiang pedas pisan, daweg punika I Lubdaka, wantah magadang ka lemah. Dados ipun wantah magadang, kabawos ipun ngelar brata?".
Ida Sang Hyang Siwa raris gelis nyawis, "Uduh... Dewa Sang Hyang Yama, mangkin nira nartayang indik i manusa. I manusa sujatine damuh sane sering lali. Lali maring raga, tur lali ring Ida Sang Hyang Widhi. Antuk laline mangliput, mawinan kenehne sering paling, mawastu sering masolah dursila. Raris antuk majagra utawi magadang Nira ngajahin manusa mangda eling ring raga. Majagra kalaning panglong pat pat belas, Tileming Kapitu. Sedeng becik daweg punika, nira ngelar yoga, mawinan duk punika kaucap rahina Siwa Ratri. Sane mangkin manira jagi nartayang, indik Bratha Siwa Ratri salanturnyane, majagra wewehin upawasa. Upawasa ten keni pangan kinum. Raris bratha Siwa Ratri malih siki, sane kabawos pinih utama, majgra, upawasa lan monobrata. Monobrata inggih punika meneng ening".
Ida Sang Hyang Yama malih masabda, "Inggih Ratu... titiang meled uning, napi mawinan ring Panglong pang pat belas, Tilem Kapitu, kanggen galah utama nangun bratha?".
Ida Sang Hyang Siwa raris masabda, "Suksman Tilem Kapitu inggih punika sekalane jagate kapetengan, maka niasa manah peteng. Sane ngardi manahe peteng wenten pepitu. Mangkin jagi dartayang nira saka siki.
1. Kaping siki SURUPA, punyah antuk goba jegeg wyadin bagus.
2. Kaping kalih DHANA, punyah antuk sugih arta brana.
3. Kaping tiga GUNA, punyah antuk kawagedan.
4. Kaping papat KULINA, punyah antuk wangsa lwih.
5. Kaping lima YOWANA, punyah antuk merasa nedeng teruna.
6. Kaping enem SURA, punyah antuk tuwak wyadin arak.
7. Kaping pitu KASURAN, punyah antuk merasa dewek wanen.
Pepitu sane ngawe manah peteng, sane ngawe manah paling, punika mawasta Sapta Timira. Kapetengan manah punika sane patut galangin antuk majagra, mangda I raga ten masolah dursila".
Sane mangkin manira jagi nartayang tata krama ngelar Bratha Siwa Ratri, mangda asuci laksana riin.
"Raris ring sampune sandyakala, ngunggahang pejati lan daksina, ring Sanggah Kamulan. Ring ajeng ngastawa katur upakara sesayut, pangambeyan, prayascita, lingga saking sekar widuri putih, aledin antuk dawun pisang kayu".
Raris ulengan kayune ring Ida Sang Hyang Siwa sane malingga ring linggane, lingga punika maka linggih Ida Sang Hyang Siwa.
Ring sampune tengahing wengi malih ngastawa. Kalaning wengi mangda nenten arip, gita Lubdhakane tembangan, becik anggen suluh urip, mangda ten kantun masolah dursila".
Wawu asapunika bawos Ida Sang Hyang Siwa, wawu raris Ida Sang Hyang Yama tatas,
raris Ida mawecana, "Inggih... Ratu Maha Luwih, titiang matur suksma ring I Ratu, I Ratu ledang nartayang indik brata Siwa Ratri sajangkepnyane, mawinan titiang tatas uning kawyaktyanne. Sane mangkin tityang nglungsur pamit ring anggan I Ratu". Puput matur raris Ida Sang Hyang Yama budal mawali ka Yama Loka.

Rabu, 24 April 2013

Bala Bali Sampunang Lali

Saking Bali..
Metune dadi Bali..
Madasar bali..
Mabala Bali..
Bali..
Saking nguni..
Katah Bali..
Agama bali..
Budaya bali..
Basa Bali..
Bali..
Ngancan jani..
Masalin..
Lali..
Lali ring Bali..
Ring Agama lali..
Ring Budaya lali..
Ring Basa lali..
Bali..
Sampunang lali..
Ane ka Bali..
Anak malali..
Ngalih Bali...

Rasa Bukan Cinta

Tentang aku..
dia..
dan mungkin kamu..
semua bagai mimpi..
senyum..
mengawali semua..
kata..
merangkai rasa..
detik..
itu yang menuntunku..
hingga batasnya..
aku menanti..
hingga hati mulai bertanya..
mungkin???
tapi terkadang tidak..
bahkan kini..
semua bukan tentang cinta..
tapi rasa..
rasa antara hati ke hati..
hatiku..
hatinya..
mungkin hatimu..


Sabtu, 15 September 2012

AIR, BUKAN BANJIR

kering...
garis retak membelah tanah..
rumput nyaris hilang..
yang bertahan tampak pucat..
sang surya sangat berbinar..
langit tersenyum lebar..
seakan bahagia..
melihat ranting melambai-lambai..
tapi bukan menari..
namun mencari..
setitik untuk sanubari..
awan bersembunyi..
angin sepintas lalu..
seakan telah paham..
namun hanya bungkam..
si tua menggendong cangkul..
air matanya terus mengalir..
memohon untuk pertiwi..
limpahkan..
limpahkan secuil air..
tapi bukan banjir..
anak cucu kami menelan ludah..
cukupkan..
sudah..
cukup..