Wariga
merupakan ilmu perbintangan Hindu yang mempunyai fungsi begitu besar dalam
menentukan setiap tata prilaku masyarakat, khususnya masyarakat Hindu. Wariga pada dasarnya bersumber dari
ajaran jyotisa tergolong kelompok wedhangga
yang merupakan pelengkap wedha, dan sebagai batang tubuh dari wedha, yang isinya membahas tentang
peredaran tata surya, bulan, bintang, dan benda-benda langit lainnya, yang
mempunyai pengaruh terhadap kehidupan ini dalam melaksanakan upcara/yadnya. Menurut
Keniten (2004 : 1-2) dalam lontar wariga Gemet , kata wariga disebutkan berasal dari suku kata wa, ri dan ga. Wa berarti sinar, apadang dan terang. Ri berarti tungtung,
ujung, puncak dan ga berarti raga,
sarira, badan. Jadi wariga berarti,
sesuatu untuk dapat mencari sinar suci yang ada dalam diri, atau untuk mencapai
Sang Hyang Widhi. Selain itu ada pula yang mengatakan wariga berasal dari kata wara
yang berarti hari, dina, raina dan kata iga yang berarti itu, jadi wariga
diartikan sebagai suatu ilmu yang menguraikan tentang hari-hari yang baik dan
hari-hari yang buruk untuk melaksanakan suatu yadnya, upacara atau suatu
pekerjaan. Hal ini disebut juga dengan Ala – ayuning Dewasa.
Lebih lanjut Keniten menyatakan wariga berfungsi untuk menuntun umat Hindu
untuk mempergunakan waktu dengan sebaik-sebaiknya. Hampir seluruh kegiatan
dipengaruhi oleh waktu. Semua kegiatan pekerjaan, upacara, yadnya tiada lepas
dari wariga padewasan, waktu atau
dauh. Di Bali beberapa lontar yang memuat tentang wariga antara lain ; Dharma Sastra, Surya Sidhanta, Swa Mandala, Pustaka
Raja Purwa, Galagah Puhun, Sundhari Ghama dan sebagainya (2004 : 3-5).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar